Update terbaru seputar kegiatan dan informasi PTQ IQRO'
Kami tidak pernah menyangka bahwa hari itu akan datang—hari di mana layar berubah menjadi nyata, dan sosok yang biasa kami lihat dari potongan reels Instagram tiba-tiba duduk di depan kami, membuka ruang diskusi yang hangat dan setara.
Sebagai pelajar dan santri, kami terbiasa menjadi penonton dalam percakapan besar tentang negeri ini. Suara kami kadang hanya bergema di dinding kelas, atau hilang dalam ruang-ruang kecil pesantren yang jauh dari sorotan media. Tapi hari itu berbeda. Kami diundang ke kediaman seorang tokoh nasional: Pak Anies Baswedan. Dan entah bagaimana, kami benar-benar duduk bersebelahan, berdiskusi, dan menyampaikan keresahan yang selama ini mengendap dalam kepala dan hati.
Awalnya, ada keraguan: “Masa iya, kami yang cuma santri bisa ngobrol langsung dengan tokoh sekaliber beliau?” Tapi ternyata, beliau bukan hanya mendengarkan, beliau juga merespons dengan hati yang lapang dan bahasa yang membumi. Kami bicara tentang pendidikan, tentang kecemasan kami terhadap masa depan, dan tentang bagaimana kami ingin menjadi bagian dari perubahan itu—bukan sekadar penonton di pinggir panggung demokrasi.
Dalam momen itu, kami tidak sedang berhadapan dengan seorang mantan gubernur atau capres. Kami sedang bicara dengan seseorang yang mau duduk bersama, eye to eye, heart to heart. Beliau tidak menasihati dari atas mimbar, tapi bertukar pikiran dari kursi yang sama tingginya.
It was a moment we never saw coming, but one we’ll never forget.
Ada satu hal yang terus terngiang di kepala kami setelah pertemuan itu: bahwa menjadi muda bukan berarti harus menunggu giliran bicara. Kami sadar, suara kami valid. Keresahan kami berharga. Dan perubahan tidak dimulai dari suara mayoritas, tapi dari keberanian untuk menyuarakan apa yang selama ini diam.
Terima kasih, Pak Anies, atas waktunya, atas telinganya yang mau mendengar, dan atas kata-kata yang tidak menggurui tapi justru membuka pikiran kami lebih luas. You didn’t just speak to us—you spoke for us. Dan itu akan terus kami ingat.
Kami tahu, sebagai pelajar dan santri, jalan kami masih panjang dan berliku. But even the longest journey begins with a single step—and maybe, duduk bersama Pak Anies adalah salah satu langkah awal terbaik kami sejauh ini.
Kami mungkin masih harus belajar banyak. Bahasa Inggris kami belum fasih, tulisan kami belum sempurna, dan pemahaman kami tentang politik dan sosial mungkin masih mentah. Tapi kami percaya, jika hari itu bisa terjadi sekali, maka suara santri bisa terdengar lagi, lebih lantang, lebih siap.
© PTQ IQRO'. All Rights Reserved.
Dikembangkan dengan oleh Tim IT PTQ IQRO'